Keabadian Di Balik Layar

Saya dulu mengira hutan adalah sesuatu yang harus ditaklukkan—sampai saya sadar ia hidup di dalam ponsel saya. Bukan hutan dengan singa yang mengaum atau RNG yang bercahaya. Tapi hutan yang bernyanyi saat jam 3 pagi, saat saya telusuri DM dari orang asing yang berkata, ‘Ini menyentuh hati saya.’ Ibu saya menyanyikan lagu Korea sambil melipat pakaian. Ayah saya memutar Miles Davis di vinyl, pelan dan perlahan, seperti napas setelah hujan. Kami tak punya anak—but kami punya kesunyian. Dan kesunyian itulah studi saya.

Saya pernah merekam pesan: ‘Saya tidak ingin jadi raja. Saya hanya ingin dirasa.’

Ini bukan soal RTP atau babak bonus. Ini tentang cahaya yang jatuh di dinding abu jam 4 pagi, bagaimana detak jantung Anda selaras dengan trek jazz lama yang Anda lupa simpan.

Permainannya bukan liar—ia sakral.

Saya telah menyaksikan orang mengejar trofi di forum, tapi saya tetap di tempat bayangan paling lembut—di sudut where orang bisikkan kebenaran mereka alih-alih mempostingnya.

Anda tidak butuh lebih banyak like untuk jadi nyata. Anda hanya butuh seseorang yang mengingat pemberontakan sunyi Anda.